Ridwan Kamil masih terbilang muda. Ia lahir di Bandung pada 4 Oktober 1971. Namun, prestasi dan karyanya membuat banyak orang berdecak kagum. Ridwan telah mengarsiteki sejumlah proyek besar di mancanegara, seperti di Singapura, Thailand, Vietnam, Cina, Hong Kong, Bahrain dan Uni Emirat Arab.
Contoh karyanya adalah Marina Bay Waterfront Master Plan di Singapura, Suktohai Urban Resort Master Plan di Bangkok dan Ras Al Kaimah Waterfront Master di Qatar-UEA.
Di Tanah Air, karyanya pun sudah terukir. Sejumlah proyek berkelas ditanganinya. Antara lain, Superblok Rasuna Epicentrum di Kuningan seluas 12 hektare, yang meliputi Bakrie Tower, Epicentrum Walk, perkantoran, ritel dan waterfront.
Sebelumnya, melalui Urbane Indonesia (perusahaan penyedia jasa konsultan perencanaan, arsitektur dan desain miliknya), ia telah menggarap Menara I Universitas Tarumanagara, Al-Azhar International School di Kota Baru Parahyangan (Bandung), Grand Wisata Community Club House di Bekasi, Pupuk Kaltim IT Centre di Balikpapan, dan ANTV Mixed Used Centre milik PT Bakrie Swasakti Utama di Jakarta.
Urbane pernah mendapatkan BCI Asia Top 10 Award untuk kategori Rancangan Bangunan Bisnis. Kemudian, Urbane juga menjadi juara dalam merancang Museum Tsunami di Aceh. Ia sendiri mendapatkan penghargaan International Young Creative Entrepreneur of the Year dari British Council pada 2006. Bahkan, rumahnya yang sebagian dindingnya terbuat dari susunan botol meraih penghargaan Green Design Award di tingkat Asia dari BCI.
Tentu saja penggarapan karyanya butuh ide kreatif. Sarjana arsitektur lulusan Institut Teknologi Bandung ini malah meyakini arsitek itu tak berbeda dari seniman. Sebab, butuh inspirasi, ilham dan ide-ide segar sebelum berkarya.
Lantas, bagaimana ia menelurkan ide-ide kreatif yang menjadi kebutuhan vital bagi profesinya itu? Rupanya ia tak sekadar menunggu datangnya ilham. Sejumlah upaya khusus dilakukannya.
Pertama adalah membaca. Ia melihat perkembangan dunia arsitektur kadangkala dipicu provokasi dunia kampus. Dari sana lahirlah teori-teori baru yang umumnya kurang dipahami orang awam. Namun, baginya hal ini bisa dibuat mudah, yaitu teori tersebut ditransformasikan menjadi sesuatu yang bisa dibangun.
Sebagai arsitek, ia tak hanya berkutat dengan bidang ilmu arsitek. Ia kerap meminjam teori-teori lain, seperti filsafat dan sastra, untuk memperkaya karyanya. Ia melihat arsitektur mengikuti pergerakan peradaban. Intinya, “Semakin rajin membaca, melihat perubahan paradigma dunia, maka kita akan semakin memahami perubahan arsitektur,” kata lelaki yang akrab disapa Emil ini.
Upaya lain yang dilakukannya adalah melakukan jalan-jalan atau traveling. Diungkapkannya, ia sering mendapatkan inspirasi baru dari traveling. Alasannya, dari berjalan-jalan ini ia bisa menemukan gaya-gaya arsitektur baru. Dari sini ia bisa membandingkan karya yang satu dengan karya yang lain. Dan, dari sini biasanya ia mendapat inspirasi baru.
Hal ketiga yang tak boleh dilewatkan adalah mencermati sekeliling. “Saya pernah dapat ide dari botol parfum,” kata Ridwan. Botol parfum mampu menginspirasinya membuat sebuah karya arsitektur. Ia melihat ada kemiripan antara botol parfum dan arsitektur.
Ridwan mengaku membutuhkan suasana rileks sebelum menghasilkan ide-ide cemerlang. Sebaliknya, jika ada tekanan, hal itu seperti mimpi buruk bagi orang kreatif. “Orang kreatif kalau under pressure, idenya sering tidak maksimal,” ujarnya.
Hal ini pula yang menjadi alasan mengapa dirinya lebih memilih berkantor di Bandung ketimbang di Jakarta. “Kalau orang kreatif bisa lebih rileks dan banyak merenung, dia malah akan lebih produktif,” ujarnya. Dan terbukti, kantor yang ada di Bandung sering mendapatkan penghargaan.
“Ada 20 penghargaan yang sudah diterima kantor saya,” katanya bangga. Ia mencermati kebanyakan arsitek lebih menyukai suasana Ubud ketimbang Kuta saat ada di Bali. Alasannya sama, “Di sana tenang. Orang kreatif butuh itu untuk mendapatkan inspirasi.”
Hal ini tak hanya dilakukan Ridwan. Ia juga menularkan cara serupa kepada karyawan kantornya. Bahkan, model inilah yang dijadikan budaya di perusahaannya.
Untuk ini, ia berani mengeluarkan uang lebih demi memunculkan kreativitas timnya. “Saya investasi kreativitas dengan mengajak mereka jalan-jalan,” ujarnya. Tak tanggung-tanggung, sekali setahun karyawannya diajak jalan-jalan ke luar negeri. Tujuannya, kondisi karyawan lebih sehat dan pikiran mereka segar. “Seluruh karyawan pernah saya ajak ke Thailand, Vietnam, Malaysia dan Brunei. Dan itu dibiayai kantor.”
Namun, untuk tim yang lebih khusus — tim yang langsung bekerja dengannya — ia punya perlakuan yang lebih spesial, yaitu jalan-jalan ke Eropa. Itu berlangsung dua kali setahun. “Selalu setelah jalan-jalan mereka lebih kreatif,” katanya. “Managing creative people memang tidak mudah,” Ridwan mengakui.
Tantangan yang sering dirasakannya, ia tidak bisa memastikan kapan kreativitas seseorang muncul. “Pernah kami butuh ide-ide kreatif karyawan saat pagi. Ternyata ide kreatifnya keluar pukul 6 sore. Ya kami bisa apa? Memang begitulah kreativitas itu muncul,” ujarnya sembari mengangkat bahu.
Ia mencontohkan dirinya. Ia mengaku sering mendapat ide saat malam. Kalau pagi, banyak kendala seperti urusan administrasi. “Kalau lepas Maghrib kan tenang,” ungkapnya.
Namun, Ridwan mengaku lebih sering mendapat ide saat mandi. “Kalau kepala saya kena air dari shower, itu baru segar. Dan ide-ide berdatangan,” katanya, seraya menjelaskan bahwa kemenangannya di sejumlah sayembara sering terinspirasi ketika di kamar mandi.
Karena itu, Ridwan merasa perlu mendesain khusus kamar mandi di rumahnya. “Desainnya natural. Hampir semua dari kayu,” katanya. Bahkan, saking senangnya mendapat guyuran air, Ridwan menciptakan hujan buatan di kamar mandi.
“Jadi saya desain sedemikian rupa, supaya seperti air hujan di kamar mandi,” ujarnya. Tidak itu saja, lantai kamar mandi juga dibuat bergoyang layaknya jembatan. “Biar saya lebih kreatif,” ujar ayah Emmeril Khan Mumtadz (10 tahun) dan Cammilia Laetitia Azzahra (5 tahun) ini.
Lalu, bagaimana caranya menjual ide? Ridwan mengaku punya cara sendiri. Diungkapkannya, menjual sebuah ide ditentukan latar belakang calon klien. Misalnya, klien yang berlatar belakang pendidikan biasa-biasa saja, jarang traveling, biasanya kurang memiliki wawasan.
“Maka klien itu akan cenderung mendikte kita berdasar pada yang dia tahu saja. Padahal, di luar sana sudah berkembang pesat,” ujarnya. Nah, ia punya cara untuk menyiasati ini. Ia selalu mengajak kliennya “berkeliling” dunia.
Ini istilah Ridwan untuk menampilkan slide show foto-foto arsitektur di dunia. “Begini lho arsitektur di Dubai, Cina, Eropa, dan negara lainnya. Nah, baru setelah itu mereka bisa menerima ide kreatif kami.”
Ridwan mengungkapkan bahwa ia menerapkan sejumlah strategi dalam melayani klien.
Pertama, visioning service. Di sini ia tidak hanya menyediakan desain, tetapi juga memberi masukan bagi pengembangan bisnis klien dari sisi rancang bangun.
Kedua, memberi layanan master plan. Di sini ia tidak hanya menawarkan desain bangunan, tetapi juga pengembangan kawasan.
Berikutnya, kesinambungan teori dan praktik. Itulah sebabnya, sejumlah desainer seniornya merupakan dosen perguruan tinggi.
Terakhir, ia sendiri aktif mengikuti sayembara guna membuktikan kreativitasnya. Begitu pula yang ia minta dari karyawannya.
Ridwan menyadari antara tuntutan bisnis dan ide kreatif terkadang bertentangan. Apalagi, di dunia arsitektur. Pembangunan arsitektur di Indonesia banyak menemui kendala biaya. Berbeda dari negara maju yang bisa membayar mahal teknologi dan kreativitas.
Untuk menyiasati hal ini, ia kadang terpaksa menurunkan kadar kreativitasnya. “Memang sakit hati karena ide kreativitas saya tidak tersalurkan karena harus disesuaikan dengan affordability di Indonesia,” ujarnya. Ya, dunia memang tidak benar-benar bundar.
Sumber: SWAsembada, Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar